Belajar
adalah untuk mencari, mendapatkan dan mengetahui ilmu. Lee Cronbach
mengungkapkan bahwa belajar merupakan perubahan prilaku sebagai hasil
dari pengalaman. Karena itu, menurutnya sebaik-baik belajar adalah
dengan mengalami sesuatu. Mengalami sesuatu yaitu dengan mempergunakan
panca inderanya – mata untuk mengamati, telinga untuk mendengar, hidung
untuk mencium, lidah untuk merasa, kulit juga untuk merasakan sesuatu –
sehingga diharapkan seorang pembelajar mampu membaca, mengamati,
meniru, dan kemudian mengolahnya.
Berangkat
dari alur pikiran pakar di atas, maka sesungguhnya belajar dilakukan
melalui proses imajinatif dan kreatif. Bukan semata-mata teori yang
diberikan kepada pembelajar. Seabrek teori yang dijejalkan kepada
pembelajar, tidak akan mengantarkannya kearah mengalami sesuatu.
Apalagi teori-teori tersebut dimaksudkan untuk mengejar target atau
nilai tertentu. Sesungguhnya yang terpenting dari belajar adalah bukan
nilai, tetapi pengalaman yang diperoleh melalui proses imajinatif dan
kreatif, sehingga memiliki kebermaknaan bagi pembelajar.
Dalam
sistem pendidikan nasional kita, para pembelajar (siswa di sekolah)
dihadapkan pada muatan kurikulum yang banyak dan padat. Mereka harus
mampu menguasai puluhan materi pelajaran yang diukur dari Kreteria
Ketuntasan Minimal (KKM). Mereka pun dihadapkan pada tuntutan untuk
mencapai target (nilai) tertentu yang ditetapkan dalam sistem
evaluasi/penilaian akhir (ujian sekolah, ujian nasional). Oleh karena
itu, pembelajaran dalam praktiknya di lapangan (sekolah) tidak
sepenuhnya mengedepankan proses, melaikankan lebih diarahkan untuk
mencapai target / nilai tertentu. Akibatnya, peserta didik (pembelajar)
kurang atau bahkan tidak memperoleh pengalaman belajar yang bermakna
bagi dirinya. Bisa jadi sistem ini banyak melahirkan peserta didik yang
berprestasi tinggi (memeproleh nilai setinggi-tingginya). Tetapi,
proses mengalami sesuatu sampai mereka memperoleh prestasi tinggi itu
tidak dijalaninya.
Begitu
peserta didik lulus dari satuan pendidikan, karena telah mampu memenuhi
target/nilai yang ditetapkan, mereka bingung mau jadi apa, dan mau
melanjutkan ke sekolah apa atau ke jurusan apa di perguruan tinggi.
Kebigungan ini timbul sebagai akibat ketidaktahuan mereka tentang
kompetensi yang menunjul pada dirinya (tidak tahu berkompeten di bidang
apa). Kebingungan mereka semakin terasa, mana kala nilai tinggi yang
diperoleh sewaktu ujian sekolah (US) dan ujian nasional (UN) tidak
dapat dijadikan tiket/jaminan masuk ke sekolah yang lebih tinggi (SMP,
SMA, SMK) atau ke perguruan tinggi. Hasil itu diragukan oleh sekolah
yang dituju atau oleh perguruan tinggi, sehingga mereka harus lagi
melalui proses ujian penerimaan siswa baru atau mahasiswa baru. Jadilah mereka generasi-generasi yang tidak tahan banting, kalah bersaing.
Marilah
kita sadari, mendidik peserta didik di sekolah tidak hanya untuk
mengejar nilai setinggi-tingginya melulu atau hanya untuk memperoleh
ijazah semata-mata. Bersekolah itu untuk belajar dan belajar itu untuk
meraih ilmu. Belajar itu berjuang melalui proses imajinatif dan
kreatif. Penentu kebijakan harus menyadari ini sepenuhnya, sehingga
bijak dalam menetapkan muatan kurikulum yang diatur dalam Sistem
Pendidikan Nasional, dan bijak dalam menentukan sistem ujian akhir
sekolah (UN dan US) yang tidak semata-mata mengejar target (nilai) atau
kelulusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar